Rabu, 01 Agustus 2007

Konstruktivisme dalam pembelajaran ke depan (1)


Konstruktivisme merupakan cara pandang (filosofist) yang menganjurkan perubahan proses pembelajaran skolastik (baik formal maupun non formal dan informal) melalui pengenalan, penyusunan dan penetapan tangkapan pengetahuan berdasar reaksi (di dalam pikiran) peserta didik. Ilmu pengetahuan tidak boleh dipindahkan kepada peserta didik (transfer knowledge) dalam bentuk yang serba "sempurna"/"jadi" melalui program pengajaran guru (Teacher Centered Learning) . Paradigma baru proses pembelajaran dengan teori konstruktivisme ini menyebabkan Guru kehilangan 2 otoritas pedagogik yang selama ini dipegang teguh untuk dipraktekkan di dalam lembaga pendidikan sekolah.Pertama, Guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar, dan kedua, Guru bukan pula satu-satunya sumber kebenaran ilmiah. Dengan demikian secara otomaticly terjadi perubahan orientasi belajar di sekolah dari Teacher Centered Learning ke Student Centered Learning.Teori-teori terdahulu yang menyatakan pikiran dan benak seorang anak (Pembelajar) adalah "kertas putih" atau "botol kosong" (tabularasa), yang siap dipenuhi dengan pengetahuan-pengetahuan baru hingga penuh oleh para Guru di sekolah, sekarang saatnya berubah, karena di dalam otak (benak) anak sudah berisi kecerdasan yang tidak tunggal akan tetapi kecerdasan jamak (multiple inteligence) dengan tingkatan yang berbeda-beda.Aktivitas sekolah, hanyalah memfasilitasi agar kompetensi dirinya yang terdiri dari aspek kecerdasan pikiran (kognisi), ketrampilan (psikomotik) dan sikap perilaku (afeksi) dapat berkembang secara optimum sebagai hasil belajar untuk "survive" dalam kehidupan masa depannya.Konstruktivisme merupakan kata kunci bagi setiap Guru dalam implementasi Kurikulum baru berdasar Standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan BSNP tahun 2006.Masalahnya adalah, apakah semua Guru-guru kita sebagai "driver" mobil baru nan mewah bak sedan Cadilac Kurikulum Canggih tersebut faham dengan filosofi konstruktivisme?Jangan-jangan proses pembelajaran yang diterapkan masih seperti dulu-dulu yaitu membebani pembelajar dengan pengetahuan yang tidak berkembang (" dead knowledge") seperti MENGHAFAL dan MENGHAFAL. Whitehead (1929) mengemukakan perlunya perubahan nyata dalam proses pembelajaran yang membebaskan anak untuk mengemukakan ide serta gagasannya di dalam komunitas/kelompok belajarnya. Jangan sampai seorang Guru lebih dominan melakukan "drilling"dengan aktivitas informasi satu jalur dan menjejalkan pengetahuan yang bersifat kaku ( inert ideas ) yang tidak mampu untuk menyelesaikan masalah kehariannya.Barnes (1976) dan Bransford (1986) dalam penelitiannya tentang "inert ideas"di beberapa sekolah formal menemui adanya keterasingan peserta didik dari masyarakat serta pikirannya sendiri, karena kebanyakkan pengetahuan yang diajarkan di sekolah justru tidak mampu menyelesaikan masalah yang ditemukan langsung di masyarakat.Bransford menambahkan pandangannya bahwa pengetahuan yang diperoleh di sekolah, merupakan pengetahuan yang dipindahkan (transfer) dari Guru kepada peserta didiknya, dan ternyata pengetahuan tersebut hanya cukup untuk menjawab permasalahan pencapaian target kurikulum serta target Ujian Nasional semata.Padahal UJIAN BUKANLAH TUJUAN dari sekolah, akan tetapi UJIAN HANYALAH PROSES AKHIR dari suatu jenjang sekolah. Tentu kita berharap, peserta didik kita yang lulus ujian, sekaligus mampu menggunakan hasil belajarnya tersebut untuk menyelesaikan permasahan yang dihadapi. Apabila jawabannya "tidak" maka pastilah ada yang "salah" dalam proses pendidikan sekolah kita!. Dan itu yang terus kita cari serta BENAHI!

Wassalam,
DS

1 komentar:

Delvi mengatakan...

Wah, menarik banget ya ulasan Bp. Darsana tentang pola pembelajaran sekarang ini. Setuju Pak.. banyak orang tua yang mengeluhkan sistem pendidikan yang terlalu membebani anak(berdasarkan hasil diskusi dengan teman-teman milis), terutama karena fokus dari pembelajaran sendiri tidak langsung menjurus kepada bakat dan kemampuan anak. Mungkin itu pula yang melatarbelakangi semakin banyaknya orang tua yang memilih menyekolahrumahkan anaknya ya. Kalau di Indonesia sendiri status legalnya dimata pemerintah gimana ya? So far sih saya belum akan melirik ke arah sana. Masih prefer ke sekolah publik lah.. Cuma memang harus selektif sih mencari sekolah dengan sistem pendidikan bermutu tapi juga terjangkau kantong (hehehe). Makanya saya salut banget dengan ide dibukanya kelompok bermain Tumbuh Kembang di kampung kita (masih merasa warga situ kok). Apalagi dimotori oleh Bapak yang notabene-nya sudah sangat mengenal dan menguasai seluk beluk sistem pendidikan di Indonesia maupun dunia, sehingga sudah paham betul dengan kelebihan dan kekurangannya serta mana yang terbaik saat ini. Moga-moga dengan adanya sarana semacam ini, anak2 kampung baru dan sekitarnya dapat tumbuh menjadi anak-anak yang semakim berkualitas ya Pak..
Saya doakan semoga taman bermain ini tambah maju.

Mama Ryo
P.S. Pak, saya tunggu ulasan-ulasan lainnya tentang dunia pendidikan, biar tambah wawasan.